なにがあっても、あきらめないで

in

wajahnya yang memerah…

“Kak! jalannya pelan dikit napa!?” Teriak Via, Adikku.

“Kata Emak, kita harus sampe rumah sebelum Maghrib,” jawabku sambil terus berjalan.

“Pelan dong! Aku kan pulang emang biasanya jam segini, tepat waktu sampe rumah!” Via masih protes.

Memang sih, aku biasa menjemput Via dari tempat lesnya jam segini dengan berjalan kaki. Emak khawatir kalau Via pulang sendirian sore begini. Dan kami selalu tiba sebelum maghrib. Tapi, aku harus cepat-cepat pulang karena setelah maghrib aku harus pergi kerumah Dita sebelum predator itu mendahuluiku.

“Kakak punya masalah ya?” Tanya Via.

“Ng..nggak! Nggak kok!”

“Alah! kakak gak usah ngelak, pasti soal kak Dita ya?”

“Sok tau lo! masih kecil ikutan aja!”

Memang, aku sekarang lagi stress mikirin Dita. Sudah satu bulan ini pikiranku terbayang hal yang aneh-aneh tentang Dita.

“Eh kak, tadi aku liat kak Dita jalan sama cowok”

“Ya udah, terus ngapain?” Aku semakin panas.

“Loh kak! beneran ini, sumpah deh, mereka tuh keliatan deket banget”

“Mungkin dia sama sodaranya kali!”

“Mungkin juga ya, kak”

Semoga saja begitu. Lagi pula aku sebenanya berusaha tidak memikirkan hal yang aneh-aneh.

***

Sehabis sholat maghrib, aku langsung cabut ke rumahnya Dita. Sepanjang perjalanan membuatku mengingat-ingat awal mula hubungan kami. Hubungan yang sudah berjalan kira-kira 7 bulan. Hubungan kami berawal ketika aku memutuskan untuk ikut ekskul Mading. Aku dan Dita tidak sekelas mulai dari kelas X sampai kelas XI saat ini. Suatu hari setelah memenangkan lomba mading sekota Sidoarjo, anggota tim ekskul mading mengadakan acara camping di daerah Malang.

Saat acara api unggun semuanya berkumpul mengelilingi api itu. Ada yang bernyanyi, ada juga yang saling tertawa cerita-cerita konyol. Aku duduk bersebelahan dengan Dita, bercerita hal-hal lucu yang terjadi di antara kami. Terutama saat-saat lomba kemarin, kami berdua ditugaskan untuk berjaga  stan pameran mading kami. Saat itu aku merasa sangat dekat dengan Dita.

Dita menggosok-gosok kedua tanyanya kemudian menghadapkannya ke api unggun. Secara reflek aku selimutkan jaketku ke tubuh mungilnya yang hanya memakai kaos lengan panjang.

“Eh, makasih ya” Katanya sambil mengeratkan jaketku ke tubuhnya. Wajahnya lucu menahan dinginnya malam. Manis.

“Lagian, udah tau di sini dingin malah cuman pake kaos”

“Ya aku gak tau. baru juga pertama kali ke sini. Kamu baik banget deh” kayaknya sambil tersenyum. Maut.

“Kamu juga baik banget ke aku. hehehe. oh iya, kamu manis deh pake jaket aku yang kegedean. mirip artis Korea” Jaketku memang ada semacam bulu-bulu dipinggiran hoodnya yang dia pakai untuk menutupi kepalanya.

“Ah kamu bisa aja, kamu paling perhatian deh sama aku. Wah yang jadi pacar kamu, pasti cewek yang paling beruntung”

Mendengar ucapannya hatiku rasanya udah lompat dari tempatnya. Sudah lama kupendam perasaanku padanya. Aku yakin dia mengirimkan sinyal. Mungkin ini saat yang tepat aku mengungkapkan perasaanku.

“Dita, kalau gitu, mau nggak kamu jadi pacar aku?”

Dia terdiam menatap erat, mata kami beradu, wajahnya berubah merah, dan kemudian dia tersenyum, memalingkan wajahnya. Serasa sudah tahu jawabannya, aku membiarkannya menyembunyikan wajahnya yang memerah sambil bersandar dipundakku.

Setelah peristiwa yang tak terlupakan itu hari-hari terasa indah. Setiap hari, aku selalu menemani Dita. Di kantin, perpus dan sepulang sekolah.  Terlebih lagi saat ekskul, kami saling berbalas canda tawa, ekskul yang melelahkan tak pernah lagi menjadi beban.

Tapi satu bulan terakhir ini datang seeokor predator bedebah, Dodi namanya. Dia tidak sekelas dengan Dita maupun aku. Dia selalu mendahuluiku, jika aku ingin bertemu dengan Dita. Setiap kali aku mencari Dita di kantin,  predator itu sudah ngobrol dengan Dita. Saat mau mengajak pulang bareng, eh, Dita sudah digiring ke luar gerbang sekolah. Ketika aku mau main ke rumah Dita, predator itu sudah nangkring di beranda rumah Dita. Pokoknya setiap ada Dita pasti predator yang mengawal.

Aku sudah berada di depan rumah Dita. Rumah tampak sepi. Jangan-jangan Dita pergi sama Dodi. Rasanya aku sudah putus asa. Aku memilih pulang kerumah saja.

“Ryan oi! Mau kemana?” Suara itu. Suara yang kutunggu-tunggu.  Setelah suara pintu terbuka.

“Mau kemana? tadi aku liat kamu diam aja di sini, terus malah mau pergi. Ayo masuk!”

“kukira kamu lagi pergi.”

“oh ya, barusan pulang, tapi mau pergi lagi”

Jangan-jangan yang dilihat Via tadi beneran.

“Duduk sini dulu, masih ada waktu untuk ngobrol kok. udah lama kamu gak maen kesini”

Aku mulai berkeringat dingin. Aku ingin bertanya dari mana saja dia pergi tadi, sama siapa, tapi yang ada bibir terkunci.

“Ada apa, Yan? kayaknya ada sesuatu yang mau diomongin. kok diem aja?”

Aku memberanikan diri bertanya. “kamu mau pergi kemana lagi?”

“oh, mau pergi ke pernikahan sepupunya Dodi”

Emang Dita itu siapanya Dodi, pikirku. Aku harus meminta penjelasan dari Dita tentang hubungannya dengan Dodi.

“Dit–” belum selesai bertanya sebuah mobil datang. Dodi si Predator datang.

“Udah siap?” Tanya Dodi pada dia yang beranjak dari duduknya.

“Udah dong” Tampak senyum Dita lebih manis dari yang pernah aku lihat.

“Eh ada Ryan, apa kabar?”

“Baik!” jawabku sinis.

“Yan, aku pergi dulu sama Dodi ya, ngobrolnya besok aja.”

Aku lihat Dita menggamit lengan dodi yang cukup membuat mataku tersiram air cuka. Lalu Dodi melingkarkan tangannya ke pinggang Dita. Sebenarnya aku malu ribut gegara cewek tapi aku tidak terima dengan apa yang Dodi lakukan. Dita itu pacarku. Tanpa pikir panjang aku cengkeram Tangan Dodi.

“Dod! jangan macem-macem. yang sopan dong!”

“Eh! Emangnya gue gak boleh ngerangkul pacar gue?”

“PACAR?”

“Oh iya, Yan, maaf aku belum kasih tau kamu. Aku dan Dodi udah jadian seminggu yang lalu”

“Lalu kita?” Tiba-tiba ucapanku melemah. Lirih.

“Kita?” Tanya Dita seakan tak tahu apa yang aku maksud.

“Ya, kita kan pacaran?” Kataku sambil menekan kata kita.

“Emang kapan itu terjadi?”

“Wa-waktu camping…”

“Eh Yan! Maaf ya. apa aku waktu itu berkomitmen dengan kamu? apa aku waktu itu berjanji setia? apa waktu itu aku pernah bilang ‘iya’ untuk jadi pacar kamu? Enggak kan?”

Semuanya benar. Dita tidak pernah bilang ‘iya’. Memang aku salah.

“Maaf Yan. Aku kira kita hanya sahabatan aja. Aku gak berpikir sejauh itu”

“Sori, Yan, Aku dan Dita harus pergi” Dodi menarik pergi Dita.

Aku terdiam.

Kurasa wajahnya yang memerah itu bilang ‘iya’.

kupikir senyumnya itu bilang ‘iya’.

kukira dia memalingkan wajah itu malu-malu untuk bilang ‘iya’.

Aku hanya bisa menyeret kata-kata itu sepanjang penjalanan pulang.

=======================
Sebuah coret-coretan 2005


by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *